Torah firman Tuhan sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan hebatnya, Torah firman Tuhan masih relevan sampai zaman sekarang. Artinya, esensi firman Tuhan tak lekang oleh zaman. Kita tahu bahwa Torah sudah ada sejak zaman penciptaan (firman tentang korban persembahan), Nuh (memisahkan hewan tahir dan najis), Abraham, dan Musa (Torah yang tertulis). Namun, ada orang-orang yang merelevansikan firman Tuhan supaya sesuai dengan keinginannya atau pengaruh zaman ini dengan caranya sendiri. Padahal firman Tuhan melebihi segala pengetahuan yang ada.
Dunia yang sudah dipengaruhi oleh si jahat membuat kita harus waspada, terlebih menyiapkan anak-anak untuk memegang teguh kebenaran firman Tuhan. Caranya dengan membangun manusia rohani mereka supaya kuat. Karena itu, kita perlu banyak mengisi dengan Torah firman Tuhan. Sebab di zaman “instagram” ini, Torah masih relevan.
Belajar dari kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego
Saat ini banyak dari kita yang mengalami tekanan baik karena situasi maupun kekhawatiran dalam hidup. Hal ini tidak hanya terjadi di zaman sekarang, sebab ribuan tahun yang lalu tekanan dan ketakutan juga dialami oleh bangsa Israel saat mereka hidup di pembuangan. Saat itu bangsa Israel berada di bawah kekuasaan Nebukadnezar (raja Babylon).
Kita semua tahu kisah ke tiga pemuda ini yang harus menghadapi perapian yang menyala demi melakukan perintah Tuhan, yaitu tidak menyembah ilah lain (Daniel 3: 16-18). Mereka memilih Tuhan (menaati perintah Tuhan). Dalam Mishnah ditulis ketika mereka ditanyai tentang keteguhan imannya. Dan mereka menjawab bahwa mereka selalu ingat tentang keajaiban yang Tuhan kerjakan di Mesir, yaitu saat terjadi tulah katak (lengkapnya dapat dibaca di buku seri “Mujizat di tengah Tulah”). Katak yang merelakan dirinya masuk di dalam perapian sesuai perintah Tuhan. Zaman Perjanjian Baru pun, rasul Stefanus juga melakukan hal yang sama. Tetap meletakkan firman Tuhan di atas hidupnya daripada menyangkali imannya.
Saat ini pun ada banyak ilah di sekitar kita yang dapat membuat kita gagal menaati firman Tuhan. Sebab kita tidak bisa mengabdi pada dua tuan (Lukas 16: 13). Karena itu, kita perlu mewaspadai hal-hal yang dapat memperbudak kita (ponsel, status, harta, dan sebagainya). Kita harus tahu bahwa hidup kita bukan untuk ego (kepentingan diri sendiri), melainkan ada rencana Tuhan yang harus kita genapi. Hidup kita harus bermakna di hadapan Tuhan.
Arti di balik perintah Tuhan tentang makanan
Kita sudah pernah belajar tentang makna perintah Tuhan tentang makanan, salah satunya ikan (harus bersirip dan bersisik). Maknanya, sisik menggambarkan tentang integritas (mencari kebenaran Tuhan) dan sirip menggambarkan tentang ambisi (ide dan hikmat dari Tuhan, sehingga menggenapi rencana Tuhan) (selengkapnya dapat dilihat di Youtube channel Bukit Zion, “Learn From Fish”).
Ternyata ada makna di balik perintah Tuhan tentang makanan (baca Imamat 11: 2-4, 7-8; Ulangan 14: 6-8). Kita akan belajar tentang salah satu hewan yang tidak diciptakan untuk kita konsumsi, yaitu babi. Ternyata ada konsep/ makna yang ingin Tuhan ajarkan di balik perintah tentang makanan, antara lain:
- Roh jahat dapat tinggal di tubuh (Markus 5: 1-2, 6-13)
Roh jahat/ najis ini bisa tinggal dalam manusia dan hewan tertentu (khususnya yang tidak diciptakan oleh Tuhan untuk dimakan) buktinya ada pada kisah ini bahwa roh jahat itulah yang memohon kepada Tuhan Yeshua untuk masuk ke dalam babi. Itulah sebabnya Tuhan memberi perintah untuk memisahkan makanan yang unclean (najis) tidak boleh dikonsumsi. Dalam konsep Yahudi, dikenal istilah “spiritual crown” (sefirot), sederhananya tingkatan dalam dunia roh (spiritual) terdiri dari 10 tingkat. Itulah sebabnya, Tuhan memberi perintah untuk memisahkan hewan yang tahir dan najis.
Penjelasan dari Rabbi Shimon Bar Yokhai, ‘’Aturan tentang 10 tingkatan spiritual, juga ada 10 tingkatan ‘unclean evil spirit.’ Semua hal di dunia ini berkaitan dengan tingkatan di sisi yang sama atau yang lain. Pada ternak, makhluk hidup, burung-burung, dan ikan; tanda dari sisi kanan (belas kasihan Tuhan) atau kiri (keadilan/ hukuman) akan terlihat. Kita boleh makan semua yang memiliki tanda dari sisi kanan, tetapi kita tidak boleh makan segala sesuatu yang berasal dari sisi kiri karena semuanya itu ada di tingkatan kenajisan. Roh jahat/ najis tinggal di dalamnya. Oleh karena itu Roh Kebenaran tidak boleh bercampur dengan semua itu.”
- Babi menggambarkan roh kemunafikan (Kejadian 26: 34-35)
Pendapat Rashi menyamakan Esau dengan ‘babi’ karena selaras dengan Mazmur 80: 14 (berbicara tentang Edom = Esau). Dalam ayat di atas, seolah Esau melakukan seperti yang dilakukan Ishak (menikah di usia 40), tetapi Mishnah mencatat bahwa sebelum menikah Esau suka mengejar istri orang lain (seperti babi yang suka menunjukkan kuku belahnya, seolah dia hewan tahir, tetapi sebenarnya menyembunyikan identitas aslinya, bahwa dia hewan yang tidak memamah biak). Inilah gambaran roh kemunafikan.
Rabeinu Bahya berpendapat, ‘’Pemazmur menggunakan babi sebagai contoh hewan yang saat berbaring menunjukkan kukunya seolah tampak sebagai hewan yang tahir, padahal di dalamnya dia penuh kenajisan.”
- Ada yang dilarang dan yang diperbolehkan (Matius 16: 18-19)
Ayat di atas berkaitan dengan makanan. Rabbi Isaac Luria menjelaskan, ‘’arti dari bahasa Ibrani, assur dan mutar, adalah berkaitan dengan yang dilarang dan yang diperbolehkan. Assur, secara umum diartikan terlarang, tetapi secara literal artinya terikat. Mutar (diperbolehkan) secara literal artinya dilepaskan.”
Apa yang dilarang oleh firman Tuhan dapat mengikat dan menarik kita ke bawah, termasuk makanan yang Tuhan tidak diperbolehkan untuk dimakan, dapat membuat percikan ilahi dalam hidup kita tidak dapat naik untuk mendekat ke Tuhan, sehingga membuat kita tidak dapat memahami kebenaran dan rencana Tuhan.
Kesimpulan
Hal makanan sebenarnya hal yang sederhana sebab kendali ada di diri kita. Karena itu, pacu diri menaati perintah Tuhan mulai dari hal yang sederhana, sehingga Tuhan akan terus memberi kekuatan supaya kita memiliki iman seperti Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Jadi, pertanyaannya bukan tentang bagaimana relevansi Torah firman Tuhan dengan hidup kita sekarang, melainkan seberapa relevan hidup kita sekarang dengan Torah firman Tuhan.