Oleh: Ps. Samuel Supriyadi
Memuji dan menyembah Tuhan dengan nyanyian atau musik di dalam ibadah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi orang-orang percaya.
Mazmur 100: 2, 4, “Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai! Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya!”, dan
Mazmur 149:1 “HaleluYah! Nyanyikanlah bagi TUHAN nyanyian baru! Pujilah Dia dalam jemaah orang-orang saleh.”
Apakah saat menyanyikan beberapa lagu rohani dalam suatu ibadah kita sudah melakukan tindakan ‘memuji dan menyembah Tuhan’? Kenyataannya, walaupun kita sudah menyanyikan beberapa lagu “rohani” ternyata tidak selalu terjadi tindakan pujian atau penyembahan kepada Tuhan. Kita renungkan, beberapa hal di bawah ini.
1. Apakah saat ibadah kita memuji dengan hati yang benar?
Saya percaya di dalam pujian dan penyembahan, Tuhan lebih mendengarkan suara hati kita dibandingkan suara mulut atau gerakan tubuh kita. Yohanes 4: 24 memuliskan bahwa syarat mutlak pujian dan penyembahan adalah harus dilakukan di dalam roh. Artinya, pujian dan penyembahan keluar dari mulut dan terlihat dari gerak tubuh kita harus memancar dari roh, yaitu kedalaman hati.
Tanpa memenuhi syarat tersebut, lagu yang dinyanyikan menjadi sekadar nyanyian. Tidak mengalami pujian dan penyembahan kepada Tuhan. Bahkan Tuhan mengecam orang-orang yang berusaha menyembah hanya di mulut saja, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia” (Matius 15:8-9).
2. Apakah setiap orang percaya memerhatikan hidup yang benar, saat di luar ibadah sama seperti saat beribadah?
Pujian dan penyembahan adalah proses yang panjang, bukan sesuatu yang instan atau sesaat waktu kita sedang beribadah saja. Sebab Tuhan melihat segala sesuatu yang kita lakukan sebelum kita datang ke tempat ibadah. Hal-hal yang kita lakukan dalam sehari-hari dipertimbangkan dan dinilai oleh Tuhan, sebelum melakukan pujian dan penyembahan. Kehidupan di luar ibadah harus sama benarnya dengan sikap kita saat beribadah.
Mazmur 29: 2, “Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya, sujudlah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan!”
Artinya, kehidupan kita yang benar di luar ibadah seperti hiasan kekudusan yang harus kita kenakan saat datang untuk beribadah. Sebaliknya, jika kita cuek dengan tindakan kita yang tidak benar di luar ibadah, hasilnya kita sedang menyanyi saja saat beribadah.
Karena itu, Tuhan mengajar kita untuk melakukan pemberesan terlebih dahulu, sebelum mempersembahkan sesuatu dalam beribadah.
Matius 5: 23-24, “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”
3. Apakah setiap orang percaya memiliki hubungan pribadi atau saat teduh dengan Tuhan?
Kita tidak bisa menyembah Tuhan dari jauh, artinya tanpa menjalin hubungan pribadi. Salah satu arti kata ‘menyembah’ = mencintai. Adalah hal yang tidak mungkin untuk mencintai tanpa jalinan hubungan. Karena itu, bagi orang-orang percaya yang belum mempunyai saat teduh pribadi, mereka hanya akan sampai kepada “menyanyi” di dalam ibadah dan sulit untuk mengalami “menyembah” Tuhan.
Melalui menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan, kita melatih diri untuk bersekutu dalam pujian dan penyembahan. Pengalaman pribadi ini akan menolong kita masuk ke dalam hadirat Tuhan (quick starter). Sebab hati kita sudah terlatih untuk peka dengan pimpinan Roh Kudus dalam pujian dan penyembahan. Tanpa pimpinan Roh Kudus, kita tidak dapat mengalami pujian dan penyembahan yang seperti yang dikehendaki Bapa (Yoh. 4:23).